“Mengasihi
artinya berbagi kebahagiaan dan berkorban demi kebahagiaan orang yang
kita kasihi”
Dewa
Klasik Alexander
“Aku
menemukan sisi lain dari keindahan dunia ini saat mengenalmu dan
ketika aku kehilangan dirimu, engkau menjadi inspirasi bagiku.”
Dewa
Klasik Alexander
Aku
meneguk sisa es teh tawar yang masih tersisa di gelasku. Ketika aku
masih menikmatinya ekor mataku menangkap sosok anak laki-laki yang
memperhatikanku. Matanya menatapku. Sebuah tatapan yang menusuk ke
dalam hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku meletakkan gelas yang hanya
menyisakan es batu yang masih membeku.
“Bu,
anak kecil yang duduk di pinggir jalan itu siapa ya?” tanyaku
penasaran kepada pemilik warung sambil memandang anak laki-laki
tersebut.
“Ow…
Duh, kasihan tuh anak, bang!”
“Kasihan
kenapa, bu?”
“Sudah
seminggu bapanya meninggal gara-gara sakit. Ibunya sih meninggal pas
melahirkan dia. Dia ngga punya keluarga lagi. Sekarang sih dia tidur
di mana saja karena di usir dari kontrakan.”
“Begitu
ya, bu!”
Selesai
membayar es teh tawar yang aku pesan. Aku menghampiri anak laki-laki
yang hanya mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki. Entah sudah
berapa lama dia tidak mengganti pakaiannya.
Semakin
aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak
terurus. Dia terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya.
“Nama
kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir
sebuah senyuman.
“Aku
lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.
Aku
mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya
ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti
kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku
menanyakan namanya.
“Benar
kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya.
Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”
Aku
melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang
tersusun rapi tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.
“Namaku
Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara,
panggil saja kak Tara!”
Dia
mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam perkenalan
yang hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika tanganku
bersentuhan dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang
menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku jarinya.
“Yuk,
kita makan.”
“Di
mana kak?”
“Tuh
ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.
Dengan
langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg
tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku
hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot. Lahap sekali anak
ini makan. Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah tidak
tersisa lagi. Sampai menjilat jarinya segala.
“Terima
kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.
“Sama-sama,”
balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada
lagi.
*****
Aku
manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran dan
tumpukan baju di kosku yang hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih
terngiang pembicaraan antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.
“Aku
panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”
Aku
menatapnya dengan keheranan di antara terang yang dipancarkan lilin
kecil. Anehkan? Kos yang aku tinggali hanya seratus ribu sebulan.
Tanpa listrik dan tanpa kamar mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC
umum. Itu pun harus bayar. Suara kereta api yang lewat persis di
depan kosku sudah menjadi musik tersendiri bagiku. Kata orang ada
harga, ada mutu. Seperti itulah gambaran kos di pinggiran rel kereta
api.
“Dulu
aku punya koko.”
“Trus
koko kamu di mana sekarang?”
Hening.
Sunyi. Bisu.
“Koko…
Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”
Kembali
kesunyian mencekam.
“Ngga
apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”
Aku
berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”
“Oklah
kalau begitu.”
Aku
tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.
Karena
lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha menutup
mataku diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.
*****
“Koko
pengen punya toko sendiri,” celotehku ketika mengajaknya ke
tempatku bekerja. “Ngga perlu besar, yang penting milik sendiri.”
“Kenapa
ngga jadi koki saja?”
“Koki?”
“Iya.
Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”
“Kamu
lapar?”
“Lapar
setengah mati.”
“Tapi
uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”
Samuel
hanya menatapku.
“Kamu
disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya
ko.”
Aku
berlari untuk membeli dua potong pisang goreng. Begitu kembali, mata
Samuel berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.
“Ini
untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong
pisang goreng.
“Untuk
kamu saja ya!”
“Ngga
mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”
Dengan
berat hati aku memakannya juga.
Setelah
itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko,
lalu membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian menutupnya.
Gajinya sih cukup untuk bayar kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan
biaya transportasi. Tapi beruntung Ko Willy, si empunya toko berbaik
hati mengizinkan aku memakai komputernya untuk jualan online. Aku
menjual tas yang ada di toko Ko Willy di blogku yang
kuberi dewaklasik.com. Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku
percaya, setia dalam hal yang kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal
yang lebih besar lagi.
“Nanti
kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow!
Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku
hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju
yang dikenakannya kebesaran.
Aku
belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus
memakai pakaianku.
*****
“Kamu
sikat gigi pakai garam ya?”
Samuel
menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya
habis. Koko belum bisa beli.”
“Ow.”
“Begini
caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku
dan menggosokkannya ke gigiku.
“Asin
ko!”
Aku
tersenyum meski hatiku perih.
“Yah
iyalah masa manis.”
*****
“Badanmu
panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya.
“Kamu sakit ya?”
Tidak
ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya
berkerut dan bibirnya mendesah menahan sakit.
Sementara
di luar kos, gerimis mulai turun.
Tubuh
Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha
menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh
tubuhnya.
“Kita
ke dokter ya?” usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat
pertolongan tanpa uang yang cukup. Orang miskin dilarang sakit! Kalau
berobat harus pinjam sana-sini buat biaya berobat. Setelah sembuh
kerja keras lagi buat bayar hutang.
Aku
semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang
dengan mata tertutup rapat.
Aku
menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Entah kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu
mengenalnya. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara
kami.
Sehari
tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan
sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan
menjawabnya.
“Woi,
mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak
saja main masuk!”
“Adik
saya sakit, pak?”
Satpam
tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia bingung,
aku yang pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.
“Bawa
saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien
kayak begini!”
Ya
Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki mobil
mewah yang bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku
tidak diterima?
Ketika
satpam tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan parkir aku
langsung menerobos masuk. Aku tetap nekat untuk masuk. Apa pun akan
aku lakukan untuk Samuel. Satpam tersebut hanya pasrah dengan
sikapku. Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang melihatku basah
kuyup tanpa alas kaki. Sandal nyang kupakai tadi putus. Mungkin sudah
waktunya untuk diganti.
Aku
tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC
menusuk hingga tulang sum-sumku.
*****
Empat
hari kemudian.
“Hemofilia?”
tanyaku kaget.
“Penyakit
gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromosn X,”
ucap dokter muda yang cantik perawakannya memberiku penjelasan.
Aku
menggagumi kecantikannya.
“Tapi
selama ini tidak ada keanehan yang saya temui, seperti pendarahan
yang terus menerus atau terjadi benturan pada tubuhnya yang
mengakibatkan kebiru-biruan. Kalau boleh tahu, Samuel mengidap
hemofilia A atau Hemofilia B, dok?”
“Begitu
ya? Hemofilia B.”
Aku
terdiam.
“Tidak
hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”
Aku
berdiri seperti patung. Samuel yang masih berumur enam tahun mengidap
HIV? Ayah atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia pernah
menjalani transfusi darah dan ternyata Human Immunodeficiency Virus
lolos dalam transfusi darah yang dijalanninya.
Kini
aku tahu, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau menampungnya
yang sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV juga.
Entahlah.
Aku
menatap wajah pucat Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang
terpasang ditubuhnya. Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata
keluh kesah yang keluar dari mulutnya.
Masih
jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami berdua ketika
mengajaknya makan di KFC di salah satu mal di bilangan Jakarta Barat.
“Samuel
pengen kado natal!” Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa
natal yang menghiasi setiap penjuru mal.
“Mau
kado apa?”
“Cuma
pengen boneka Tazmania.”
“Nanti
koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa harri ini belum
ada tas yang laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede.”
“Yang
kecil juga ngga apa-apa kok.”
“Tapi
jangan lupa berdoa ya.”
“So,
pasti!”
Malamnya
sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.
“Koko
pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang
laku.”
“Amin!”
teriaknya memecah kesunyian malam.
Hatiku
miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit
yang tersisa.
“Maafkan
koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.
Menit
berikutnya.
Dia
mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.
“Tuhan…
Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”
“Online.”
timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.
“Usaha
onlinenya. Berkati juga bloknya.”
Aku
tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengak pemakaian huruf K
dibelakangnya.
“Nama
blognya apa ko?”
“Dewaklasik
dot com,” ucapku dengan perlahan-lahan.”
“Berkati dewakasik
dot kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”
Aku
terharu. Aku meneteskan air mataku.
*****
“Ko,
aku mau pulang saja!”
“Kenapa
sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”
“Tapi
aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”
Diam.
Sesak.
“Kamu
jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”
Tidak
ada pilihan selain meminjam uang dengan Ko Willy dengan jaminan
gajiku di potong setengah dari seharusnya aku terima setiap bulan.
Sebatang
kara seperti ini tidak bisa berharap pertolongan kepada keluarga. Ah,
betapa indahnya kalau masih memiliki keluarga. Teman? Ini Jakarta.
Uang ngga jatuh dari pohon kayak daun kering. Siapa yang mau
memberikan pinjaman kepadaku tanpa jaminan apa-apa yang bisa disita
kalau tidak mampu melunasi hutang yang ada? Memberikan pinjaman ke
keluarga sendiri saja masih pakai hitung-hitungan. Kalau mau nyumbang
harus di ekspos. Berharap kepada manusia memang sering mengecewakan.
“Kamu
harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”
“Ko….
Maafkan aku.”
“Kenapa
harus minta maaf?”
“Aku
sudah merepotkan koko.”
Aku
menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko
malah senang bisa berkorban buat kamu.”
******
Segala
macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani Samuel.
Sudah dua minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti
dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap
hari berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko.
Mengobrol, bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.
“Ko,
apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan
yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah
memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel. Infeksi
yang tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal.
“Artinya,
kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya
sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku
berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak
jatuh.
“Sendirian.
Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau
aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya
air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih
memikirkanku.
“Aku
tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki
pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti
di sana, siapa yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil
meneteskan air matanya.
Aku
memeluknya.
“Kamu
ngga usah mikirin koko ya, sayang! Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti
kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan
koko sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko
rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak
perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku
tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati
kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah
impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.
******
Aku
membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang
terbaring lemah memaksakan senyumannya.
“Ko…”
“Kenapa
sayang?”
“Besok
aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”
“Ngga
apa-apa.”
“Kamu
suka ngga bonekanya?”
“Terima…
kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan
koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko,
aku mau… kasih koko… kado.”
Aku
tercengang!
“Aku
cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku
mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.
“Ku
yakin saat Kau berfirman
Ku
menang saat Kau bertindak
Hidupku
hanya ditentukan oleh perkataanMu
Ku
aman karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya
ditentukan oleh kuasaMu
Bagi
Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak
mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan
dipulihkanNya”
Air
mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu
tersebut. Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya
mujizat itu ada.
“Selamat
natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat
natal juga sayang.”
“Ko…”
“Iya,
sayang!”
“Koko
bisa nyanyikan aku lagi malam kudus? Tapi pake bahasa inggris.”
Tanpa
berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel.
Silent
night, holy night
All
is calm and all is bright
Round
yon virgin mother and child
Holy
infant so tender and mild
Sleep
in heavenly peace
Sleep
in heavenly peace
Silent
night, holy night
Shepherds
quake at the sight
Glories
stream from Heaven afar
Heavenly
hosts sing halleluia
Christ
the savior is born
Christ
our savior is born
Silent
night, holy night
Son
of God
Love’s
pure light
Radiant
beams from thy holy face
With
the dawn of redeeming grace
Jesus
Lord at thy birth
Jesus
Lord at thy birth
Halleluia!
Halleluia!
Halleluia!
Christ
the savior is born
Tangan
kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya
menggengam tanganku.
Genggamannya
makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.
“Surga
menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.
TAMAT